Jumat, 05 November 2010

SEBUAH PENGORBANAN

Dear diary 12 Maret 09
Hari ini tak seperti biasanya. Matahari yang biasanya menyinari tempat yang sering kami kunjungi ini ternyata enggan muncul dan hanya mau bersembunyi di balik awan. Mendung terlihat sangat kentara, menandakan bahwa hujan segera akan turun.
Aku dan kedua sahabatku sering mengunjungi tempat yang biasa disebut banyak orang dengan “Lemah Putih”. Disini kami sering mencurahkan segala isi hati dan semua yang ada di benak kita bertiga. Diva dan Ria, ya itulah nama kedua sahatku. Kami memang sudah bersahabat sejak SMP sampai sekarang sudah kelas XII SMK dan akan segera lulus. Meskipun salah satu sahabatku itu masih marah denganku sampai sekarang. Tapi aku masih berharap untuk tetap bisa menjadi sahabatnya.
Umurku emang udah nggak lama lagi. Mungkin esok atau lusa, aku udah nggak bisa liat sang Fajar yang selalu tersenyum manis untukku itu. Tapi yang aku inginkan, Diva dan juga Ria dapat hadir saat aku dimakamkan.
Aku sayang kalian berdua sahabatku dan yang paling aku inginkan Diva bisa bahagia bersama Fatih.

“Sekarang kamu taukan gimana tersiksanya Ifah saat kamu marah sama dia. Dia tuh sayang banget sama kamu, tapi kamu nggak pernah ngerti semua itu. Ini diary terakhir Ifah yang di kasih Bundanya ke aku. Biar kamu tau kalau Ifah sayang banget ke kamu,” Ria bicara kepada Diva dengan penuh nada emosi.

Diva hanya bisa menangis, karena semuanya telah terlambat. Ifah telah pergi meninggalkannya untuk selamanya. Hati Diva sangat merasa terpukul karena sebelum sahabat baiknya itu menghembuskan nafas terakhir. Dia tak bisa menemani.

Dengan mata penuh air mata Diva berteriak, “Maafin aku Ifah, aku sadar kalau aku tuh sebenarnya sayang banget sama kamu. Aku dah maafin kamu kok. Kembali donk Ifahhhh. Kenapa kamu nggak pernah ngomong sama aku kalau kamu sakit. Ifaaahhhh….”

Air mata Diva semakin menjadi-jadi dan suara tangisannya pun begitu memilukan. Ria hanya bisa ikut mengangis melihat Diva lalu mereka berdua saling berpelukan melepas segala kesedihannya.


Tak seperti biasanya Diva tidak masuk kelas. Aku dan Diva memang sudah lama tak bicara karena kejadian itu. Tepatnya hari Sabtu masalah itu mulai muncul.
Saat itu aku dan Ria sedang berada di Perpustakaan. Tapi tiba-tiba Diva datang dengan muka sangat marah dan langsung mendekati aku dan Ria. Tak pernah kuduga sebelumnya kalau Diva tega bilang kayak gitu ke aku di depan banyak orang.

“Aku nggak nyangka sahabatku tega ngelakuin smua ini ke aku,” Diva berkata dengan sangat keras di dalam Perpustakaan.
“Maksud kamu tuh apa sich Va, aku nggak ngerti?” aku menyahut.
“Udah dech nggak usah berlaga sok polos di depan teman-teman. Aku tau kok semua yang udah kamu lakuin. Kamu tuh nggak pantes banget jadi sohibku. Kita tuh dah sahabatan berapa lama sich Fah? Sampek kamu tega banget sama aku,” bicara Diva semakkin pedas saja.
“Aku bener-bener nggak ngerti apa yang kamu bilang Va. Jelasin donk kalau emang aku punya salah ke kamu.”

Teman-teman di Perpustakaan hanya bisa melihat kami dengan kebisuannya. Termasuk Ria, hanya diam dan tak mampu berbuat apa-apa.

“OK bakalan aku jelasin ke kamu. Apa sebab aku marah sama kamu kayak gini,” Diva mulai mencoba menjelaskan.

Ternyata apa yang aku takutkan dulu terungkap sudah. Aku telah mencoba menahan segala perasaan yang aku rasain selama ini. Aku udah ngerelain Fatih buat Diva karena aku emang tau banget kalau Diva beneran sayang ke Fatih. Dan aku pengen sahabatku itu bahagia bersama seorang Pangeran yang diinginkannya selama ini. Tapi ternyata Diva nggak mau ngertiin yang aku lakuin ini. Semua yang aku lakuin ini emang buat kamu Diva.


Aku dan Ria pergi ke kantin. Setelah melepas semua penat yang dari tadi terasa karena mengerjakan ulangan IPS yang lumayan sulit juga.

“Aku bener-bener nggak ngerti apa yang sebenarnya dipikirin sama tuh anak. Seharusnya dia tuh ngerti juga perasaan kamu sama Fatih,” celoteh Ria.
“Udahlah Ria, biarin aja Diva mau berbuat apa sama aku. Toh yang salah juga aku? Kenapa aku bisa suka sama Fatih. Padahal Fatih itu milik Diva,” sahutku.
“Eh, kamu lupa ya? Waktu kamu suka sama Fatih itukan. Fatih belum jadian sama Diva. Jadi kamu emang berhak donk buat suka juga sama dia. Lagian kamu menjauhi Fatih karena kamu tau kalau Diva suka Fatih kan? Ria mencoba mengungkap semua fakta yang ada.
“Ya emang sich, aku menjauhi Fatih karena Diva suka sama dia,” aku tak bisa mengelak.
“Tapi kamu nggak taukan kalau Fatih juga pernah suka sama kamu. Waktu pertama ketemu kamu. Tapi karena kamu menjauh terus dari dia. Akhirnya dia mencoba membuka hatinya buat Diva,” Ria mengungkap semuanya yang tak pernah aku ketahui sebelumnya.

Sejak Ria mengungkap semua itu tadi siang. Malam hari aku nggak bisa tidur. Aku kepikiran Fatih terus. Meskipun sekarang Fatih udah jadi milik Diva. Tapi kenapa perasaan ini nggak bisa hilang. Aku nggak boleh egois sama perasaanku ini. Pokoknya aku musti lupain Fatih.

Sudah dua minggu berlalu. Tapi masalah yang aku alami bersama Diva tak kunjung juga selesai. Aku udah coba buat ngehubungin dia lewat HP tapi nggak pernah sekali pun diangkat oleh Diva. Aku juga udah coba buat pergi ke rumahnya, tapi nggak pernah dibukakan pintu. Meskipun dia bersikap begitu denganku. Tapi aku tetap menganggap dia sebagai sahabat terbaikku begitu juga Ria.
Hari ini keadaanku semakin tidak fit. Ketika di sekolah mengikuti upacara, tiba-tiba aku pingsan. Saat aku terbangun ternyata aku sudah berada di UKS. Di sampingku ada Ria yang selalu mendampingiku setelah Diva pergi meninggalkanku. Aku ngerasa semua yang aku takutkan itu akan segera datang. Saat aku pergi ninggalin orang-orang yang aku sayangi. Begitu juga Fatih yang masih lekat di relung hatiku.

“Kamu kenapa sich Fah, kok akhir-akhir ini kamu kelihatan nggak fit gitu,” Ria langsung bertanya saat aku terbangun.
“Nggak apa-apa kok. Mungkin Cuma kecapekan aja,” aku mencoba menyembunyikan semuanya.
“Kamu nggak bohong kan Fah sama aku. Penyakitmu nggak semakin ganas kan? Ria semakin memojokkanku dengan semua pertanyaannya itu.
“Udah dech, nggak usah berlebihan gitu. Aku beneran nggak apa-apa kok. OK, kamu tenang ja ya Ria,” aku tetap berusaha menutupi smuanya.

Wajah Ria terlihat agak senang setelah mendengar jawabanku tadi. Tak seperti sebelumnya yang terlihat sangat khawatir dengan keadaanku.

Saat keluar dari UKS berama dengan Ria. Hatiku seketika tersentak melihat di luar ada Diva bersama Fatih. Ingin rasanya saat itu juga aku berlari dan menangis, berteriak kalau aku nggak kuat menahan semua ini. Aku nggak tahan ngeliat kemesraan mereka. Tapi aku nggak mungkin bisa merebut Fatih. Karena itu bukan aku, aku nggak mau bahagia di atas tangisan sahabatku sendiri. Aku sayang Fatih tapi aku akan lebih sayang sama sahabatku sendiri, Diva. Ketika aku lewat di sampingnya pun. Diva tak menoleh sedikit pun, hanya sekedar melirikku pun tidak.

“Udah ach Fah nggak usah dilihatin. Nggak penting kayak gitu juga. Kamu nggak usah sedih biarin dia bisa mikir. Ternyata hati Diva emang udah berubah jadi batu,” kata Ria pedas saat kami melintas di samping mereka.

Aku hanya bisa terdiam, merenung dan memahami apa yang dibilang Ria tadi. Tapi semua itu sia-sia karena aku emang nggak bisa ngilangin perasaanku itu dari Fatih. Aku terlalu sayang dia, sampai aku nggak mau ngeliat dia lagi. Dia milik sahabatku dan aku harus mengerti itu.


Sore ini aku senang sekali karena bisa ngumpul bareng sama keluargaku. Apalagi diiringi dengan suara gemericik air hujan yang mengguyur perkampungan kecil kami. Perasaanku terasa senang mungkin karena sore ini terasa begitu berbeda. Karena setiap hari ayah selalu bekerja begitupun ibu. Entah mengapa sore ini kita sekeluarga bisa berkumpul bersama. Kami bersama bisa bersendau-gurau yang sudah begitu lama tak kami lakukan.
Setelah makan malam, aku ngerasa kepalaku pusing banget. Bener-bener pusing, nggak seperti biasanya. Sampek aku nggak kuat buat menahan sakit kepalaku ini. Aku terjatuh pingsan di dalam kamar.
Setelah mataku mulai terbuka dan melihat sekeliling, aku baru tersadar bahwa aku bukan berada di kamarku melainkan berada di rumah sakit. Di ruangan itu semua orang yang aku saying ternyata telah hadir. Perasaanku semakin tak menentu saat melihat dia ada disitu, Fatih ternyata juga hadir disini. Hanya satu yang tak ada yaitu Diva.

“Maafin aku ya Fah, tadi aku udah sms Diva. Tapi dia tetap nggak dateng. Aku juga suruh Fatih buat dateng kesini,” Ria mencoba menjelaskan.
“Nggak apa-apa kok Ria. Aku seneng karena kamu mengerti apa yang aku inginkan sekarang ini,” aku menjawab dengan senyuman.
“Kamu nggak apa-apa kan Fah? Fatih mencoba membuka pembicaraan.
“Aku nggak apa-apa kok. Thaks ya dah mau kesini,” aku menjawab pertanyaan Fatih.

Aku semakin nggak kuat menahan sakit kepalaku ini yang tiba-tiba datang lagi. Aku menkerit histeris karena kesakitan. Ayah dan ibu memanggil dokter untuk memeriksa. Semuanya keluar dari ruangan tempatku berbaring. Saat dokter memeriksaku, aku masih tersadar. Tapi setelah itu aku tak tau. Aku serasa sudah pergi menjauh dari kehipudan ini.

“Gimana dokter dengan keadaan Ifah?” Ibu bertanya kepada dokter.
“Maaf ibu, takdir telah berkata lain. Ifah sudah tenang di sana.” Dokter menjawab.
“Nggak mungkin dok, ifah bisa bertahan kan?’ Ibu kembali bertanya dengan wajah sangat khawatir.
Dokter hanya bisa menggelengkan kepala.

Semua orang yang aku sayang langsung menangis dan masuk ke ruangan tempat aku berbaring tanpa nafas. Ria langsung memeluk jasadku dengan saat eratnya. Begitupun dengan ibu dan juga Diana adikku.
Mereka semua menangis sampai matanya sembab, aku benar-benar nggak tega melihat semua ini. Sesaat setelah mereka semua keluar dari ruanganku. Ria memberikan surat yang sebelumnya aku tulis kepada Fatih begitu juga Diva yang sedari tadi ada di samping Fatih.

To : Fatih& Diva
Sebelum aku tak dapat melihat lagi keindahan dunia ini. Aku hanya ingin mengucapkan maafku kepada kalian berdua. Maaf apabila aku telah mengganggu hubungan kalian berdua. Aku sayang sama kalian berdua dan yang paling aku inginkan saat ini. Diva sahabatku tersayang bisa bahagia dan juga mau memaafkan segala kesalahanku. Fatih, tolong jaga Diva dan jangan pernah kau sakiti dia. Aku hanya ingin melihat kalian berdua bahagia.
Thanks dah mau menempatkan waktu buat baca surat ini.
From : Ifah (sahabatmu)
Setelah membaca surat yang aku berikan itu. Diva hanya bisa menangis di dalam pelukan Fatih yang sangat dicintainya itu.
Aku masih bisa melihat semua itu meskipun aku memang sudah tak bersama mereka lagi. Aku ingin mereka tak menangisi kepergianku. Diva jangan menangis! Aku hanya ingin mengucapkan “AKU SAYANG KALIAN SEMUA” meskipun aku tau mereka tak mendengar ucapanku.

Pernah dimuat dalam Toelis Edisi 2 Generasi 3

0 komentar: